Sunday, November 23, 2014
Hujan dan Macet
Hujan dan macet
Hujan di bulan November adalah sesuatu yang dulu sering kutunggu-tunggu.
Hanya supaya salah satu lagu favorite-ku, November Rain dari GnR menjadi syah dan genap
ketika aku senandungkan.
Bagaimana dulu aku hapal diluar kepala lyric-nya yang panjang, sehapal alinea ke 4
Pembukaan UUD 45.Tentu saja itu bisa karena biasa. Aku bisa hapal karena terbiasa
membaca, mendengar dan menyuarakannya.Coba tanyakan sekarang, yang tertangkap
hanya : do you need sometime..on your own..
Teringat juga selagi saat kuliah, di suatu sore di awal November. Langit yang tadinya cerah
ceria mendadak murung. Cintanya yang besar diputuskan oleh sang mentari. Dipergokinya
awan hitam sedang mendekap mentari mesra. Menangislah dia meraungkan geledek mencurahkan
air hujan. Aku dan kawan-kawan segera merayakannya.
Kita menari berhujan-hujanan di lapangan basket kampus yang sepi.
Tetapi sesungguhnya adalah untuk menghindari tatapan orang-orang yang meneduh yang di
kepalanya terbaca kalimat: kurang kerjaan banget sih loe.
Dan saat ini hujan itu datang lagi. Tetap yang teringat adalah November Rain dan selintas
Gerimis-nya Kla project. Dua-duanya menyiratkan suatu ujian percintaan.
Dalam suatu hubungan, saling pengertian adalah utama. Camkanlah itu.
Namun hujan yang dimulai jam 3 sore dan tak berhenti dalam 120 menit berikutnya,
merupakan katalisator yang sangat kuat untuk mengakibatkan sakit penyakit kota yang
sungguh parah bernama kemacetan akut stadium 18.
Sudah hampir seminggu terakhir ini terjadi demikian.
Kemaren sore aku mengalaminya ketika di dalam bus Trans Jakarta. Saat itu aku berdiri di
sampingseorang wanita yang berdiri juga. Tasbesar montok terisi di jaga dengan tangan
kanannya yang juga menenteng tas karton yang sepertinya berat. Sedang tangan kirinya mencengkeram pegangan bus, serta bersepatukan hak tinggi 7cm.
Maka aku yang menyandang ransel dan bersepatukan flat shoe, meyakinkan diri, deritaku
tidak separah dia.
Bus transjakarta koridor 1 itu berkapasitas duduk 30orang dan berdiri 30 orang. Tapi
yang seringnya total orang di dalam bus itu 85. Dan dari 10 kali naik bus, probabilitasku
untuk mendapatkan tempat duduk hanya 0,1 saja. Kadang perjalanan yang bisa ditempuh
30 menit menjadi 5Xnya. Sungguh aku bangga sependeritaan bersama orang-orang tangguh.
Yang berdiri berjam-jam setiap hari menikmati penyakit kota ini. Belum kalau perut
kita terserang mules di tengah perjalanan karena air besar meronta-ronta ingin dibuang. Atau
serangan gas yang perlahan-lahan memenuhi rongga lambung kita, itu pernah juga aku alami.
Aku angkat ke-4 jempolku buat mereka, dan tentu saja buatku.
Juga sore ini ketika aku merasa lelah untuk naik angkutan umum massal yang pasti membuat
aku semakin lelah, maka pilihannya adalah naik taxi. Walaupun sudah kutunggu selama 20menit
di perempatan depan terminal Blok M, namun yang lewat semua lampunya mati tak menyala.
Pilihan lainnya adalah ojek, dimana hujan seperti ini adalah yang aku hindari.
Oleh karenanya ketika sebuah BMW melintas di depanku, kucegatlah dia, iya donk,
aku pilih BMW, Bajaj Merah Warnanya.
Dengan laju dalam hitungan jari 1 tangan/jam, aku bersyukur sopir BMW ini begitu sabar.
Tidak seperti sopir taxi SKW (Sedan Kuning Warnanya) yang tadi dinaiki oleh my lovely sista.
Sepanjang jalan tak henti menyumpahi penyakit macet yang menyelimuti taxi-nya,
menggerakkan hati my lovely sista untuk berstatus di profil BB-nya demikian :
sabar itu capek, emosi, pegel, kesel, susah, namun sabar itu indah, indahnya kapan??
Ya sabar ajaaaah....
Di saat seperti ini, ada 1 benda yang sangat kucintai. Kusayang-sayang dia, kuelus-ules
dengan lembut. Dialah powerbank yang menemani-ku setiap saat ketika aku di luar rumah atau
kantor. Sehingga ketika aku terjebak di dalam sakit penyakit kota yang parah,
maka aku akan tetap menikmati game, membaca e-book bersama tab-ku. Atau seperti
sekarang, aku menikmati-nya dengan memainkan jemari-ku di atas keypad BB-ku, yang sedang
berkawin dengan powerbank-ku.
Sudah 1 jam lebih, tepatnya 80menit perjalananku dari blok M ke jl bangka, dan saat ini ba-
ru masuk di kemang. Melihat kondisi sekitarku, aku perkirakan akan sampai 20 menit lagi.
Suatu waktu yang sungguh lama untuk jarak 3km, yang bisa aku tempuh selama 30 menit
berjalan kaki jika melewati rute terpendek termasuk melalui gang.
Terlintas dahulu, ketika belajar ilmu perencanaan transportasi, ada dikenal beberapa meto-
de pembebanan rute (trip assignment), yaitu All Or Nothing dan Equilibrium (keseimbangan).
Maka dengan berjalan kaki aku menerapkan metode All or Nothing, dan di dalam BMW ini
aku menerapkan metode Equilibrium. Sedikit aku terangkan, jika seseorang berangkat
dari rumah ke kantornya mempunyai 2 pilihan rute, lewat jalan Sudirman yang berjarak 1km,
atau lewat jalan Gatot Subroto yang berjarak 2km, maka jika kita menerapkan metode
pembebanan All Or Nothing, sudah dipastikan bahkan tanpa berpikir 1 detik pun,
dia memilih jalan Sudirman. Itu adalah harga mati, tidak bia ditawar lagi. Jika digambarkan
dengan angka matrix, jalan Sudirman adalah 1, dan Gatsu adalah 0. Tetapi ketika di jalan
Sudirman ada galian kabel yang memakan bahu jalan sehingga menimbulkan macet,
atau karena dia itu hendak sarapan bubur ayam yang terkenal enaknya dan sungguh laris
sehingga tukang bubur-nya bisa naik haji, dan bubur ayam itu ada di jalan Gatsu, maka dia
akan melalui rute jalan Gatsu. Kalahlah jalan Sudirman, 0-1 untuk Gatsu. Itulah Equilibrium.
Jika masih bingung apalah itu, bolehlah membaca sendiri buku karangan Ofyar Z. Tamim.
Kalau ada pepatah, guru -yg tentunya termasuk dosen- adalah orangtua di sekolah, maka
dia adalah kakekku. Karena dia adalah dosen dari dosenku.
Dari dalam BMW yang tak berjendela ini, dengan puas dapat kuhirup racun yang dikeluarkan
dari knalpot-knalpot.
Tak usahlah kau buat-buat asap knalpotmu jadi harum mewangi, tetap saja yang memenuhi
paru-paruku adalah racun. Racun itu tidak kuhirup sendiri, namun kubagi bersama sopir
BMW-ku yang berkerudung handuk biru, orang-orang yang naik motor, bahkan orang
yang motornya mengeluarkan bau wangi itu sendiri. Tentu saja kecuali mereka yang
berada di mobil Fortuner ber-plat B 612 WW di depanku ini. Mereka itulah penyokong
paling besar racun yang kuhirup. Tuhan tau mereka tak punya pilihan lain saat ini.
Tak apalah, aku memaklumi dan memahaminya.
Sepertinya sudah saatnya aku menyampaikan kepada Bapak Gubernur yang terhormat, yaitu
kesatu, agar hendaknya mempertimbangkan untuk dapat memperkerjakan dokter mata
yang sebanyak-banyaknya di ibu kota tercinta ini.
Diharapkan mereka dapat memeriksa kesehatan mata semua orang yang mengendarai
kendaraan bermotor. Dan yang paling terutama adalah kendaraan bermotor roda dua, sehingga
dapat melihat dengan jelas warna lampu lalulintas yang bertebaran di setiap perempatan
jalan. Suatu saat ketika lampu merah menyala, tidak ada lagi mobil yang menceburkan diri
ke tengah-tengah perempatan dikerubuti oleh motor, bagai burung bangkai mengerubuti
mangsanya. Membuat kemacetan panjang di belakangnya, sampai lampu merah sebelumnya,
dan sebelumnya, dan sebelumnya lagi.
Yang kedua, ada baiknya diadakan suatu perlombaan, dimana yang menang adalah yang
berhasil menyerok sebanyak-banyaknya sampah dari kali-kali dalam hitungan truk. Hadiah
yang disediakan pun harus menarik minat, misalkan free tiket penerbangan kemanapun
sepanjang tahun, tentunya dengan uang saku untuk akomodasi-nya.Sehingga ketika dia
berkesempatan jalan-jalan di negeri orang yang minum dari air keran, maka ketika pulang,
dia akan bersemangat untuk membuat air keran di negeri sendiri bukan hanya bisa diminum
oleh manusia, tapi juga oleh motor dan mobil. Ohya, tiketnya jangan untuk 1 orang saja,
tapi bersama pasangan atau keluarga. Atau terserahlah mau hadiah yang bagaimana,
tergantung permintaan si pemenang juga boleh.
Sedang yang ketiga, perlu dibuatkan kebijakan untuk menaikkan bea masuk setinggi-
tingginya atas kiriman dari luar kota Jakarta. Termasuk dan terutama adalah kiriman
dari Bogor yang berupa banjir. Perhitungan kenaikan ini bisa dipertimbangkan banyak faktor,
misal kalo hari kerja kenaikannya menjadi 40X per liternya, tapi kalo weekend cukup 20X.
Untuk hal lainnya, sementara masih aku pikirkan.
Di dalam BMW, 22 Nov 2012. 19.40
Hanya supaya salah satu lagu favorite-ku, November Rain dari GnR menjadi syah dan genap
ketika aku senandungkan.
Bagaimana dulu aku hapal diluar kepala lyric-nya yang panjang, sehapal alinea ke 4
Pembukaan UUD 45.Tentu saja itu bisa karena biasa. Aku bisa hapal karena terbiasa
membaca, mendengar dan menyuarakannya.Coba tanyakan sekarang, yang tertangkap
hanya : do you need sometime..on your own..
Teringat juga selagi saat kuliah, di suatu sore di awal November. Langit yang tadinya cerah
ceria mendadak murung. Cintanya yang besar diputuskan oleh sang mentari. Dipergokinya
awan hitam sedang mendekap mentari mesra. Menangislah dia meraungkan geledek mencurahkan
air hujan. Aku dan kawan-kawan segera merayakannya.
Kita menari berhujan-hujanan di lapangan basket kampus yang sepi.
Tetapi sesungguhnya adalah untuk menghindari tatapan orang-orang yang meneduh yang di
kepalanya terbaca kalimat: kurang kerjaan banget sih loe.
Dan saat ini hujan itu datang lagi. Tetap yang teringat adalah November Rain dan selintas
Gerimis-nya Kla project. Dua-duanya menyiratkan suatu ujian percintaan.
Dalam suatu hubungan, saling pengertian adalah utama. Camkanlah itu.
Namun hujan yang dimulai jam 3 sore dan tak berhenti dalam 120 menit berikutnya,
merupakan katalisator yang sangat kuat untuk mengakibatkan sakit penyakit kota yang
sungguh parah bernama kemacetan akut stadium 18.
Sudah hampir seminggu terakhir ini terjadi demikian.
Kemaren sore aku mengalaminya ketika di dalam bus Trans Jakarta. Saat itu aku berdiri di
sampingseorang wanita yang berdiri juga. Tasbesar montok terisi di jaga dengan tangan
kanannya yang juga menenteng tas karton yang sepertinya berat. Sedang tangan kirinya mencengkeram pegangan bus, serta bersepatukan hak tinggi 7cm.
Maka aku yang menyandang ransel dan bersepatukan flat shoe, meyakinkan diri, deritaku
tidak separah dia.
Bus transjakarta koridor 1 itu berkapasitas duduk 30orang dan berdiri 30 orang. Tapi
yang seringnya total orang di dalam bus itu 85. Dan dari 10 kali naik bus, probabilitasku
untuk mendapatkan tempat duduk hanya 0,1 saja. Kadang perjalanan yang bisa ditempuh
30 menit menjadi 5Xnya. Sungguh aku bangga sependeritaan bersama orang-orang tangguh.
Yang berdiri berjam-jam setiap hari menikmati penyakit kota ini. Belum kalau perut
kita terserang mules di tengah perjalanan karena air besar meronta-ronta ingin dibuang. Atau
serangan gas yang perlahan-lahan memenuhi rongga lambung kita, itu pernah juga aku alami.
Aku angkat ke-4 jempolku buat mereka, dan tentu saja buatku.
Juga sore ini ketika aku merasa lelah untuk naik angkutan umum massal yang pasti membuat
aku semakin lelah, maka pilihannya adalah naik taxi. Walaupun sudah kutunggu selama 20menit
di perempatan depan terminal Blok M, namun yang lewat semua lampunya mati tak menyala.
Pilihan lainnya adalah ojek, dimana hujan seperti ini adalah yang aku hindari.
Oleh karenanya ketika sebuah BMW melintas di depanku, kucegatlah dia, iya donk,
aku pilih BMW, Bajaj Merah Warnanya.
Dengan laju dalam hitungan jari 1 tangan/jam, aku bersyukur sopir BMW ini begitu sabar.
Tidak seperti sopir taxi SKW (Sedan Kuning Warnanya) yang tadi dinaiki oleh my lovely sista.
Sepanjang jalan tak henti menyumpahi penyakit macet yang menyelimuti taxi-nya,
menggerakkan hati my lovely sista untuk berstatus di profil BB-nya demikian :
sabar itu capek, emosi, pegel, kesel, susah, namun sabar itu indah, indahnya kapan??
Ya sabar ajaaaah....
Di saat seperti ini, ada 1 benda yang sangat kucintai. Kusayang-sayang dia, kuelus-ules
dengan lembut. Dialah powerbank yang menemani-ku setiap saat ketika aku di luar rumah atau
kantor. Sehingga ketika aku terjebak di dalam sakit penyakit kota yang parah,
maka aku akan tetap menikmati game, membaca e-book bersama tab-ku. Atau seperti
sekarang, aku menikmati-nya dengan memainkan jemari-ku di atas keypad BB-ku, yang sedang
berkawin dengan powerbank-ku.
Sudah 1 jam lebih, tepatnya 80menit perjalananku dari blok M ke jl bangka, dan saat ini ba-
ru masuk di kemang. Melihat kondisi sekitarku, aku perkirakan akan sampai 20 menit lagi.
Suatu waktu yang sungguh lama untuk jarak 3km, yang bisa aku tempuh selama 30 menit
berjalan kaki jika melewati rute terpendek termasuk melalui gang.
Terlintas dahulu, ketika belajar ilmu perencanaan transportasi, ada dikenal beberapa meto-
de pembebanan rute (trip assignment), yaitu All Or Nothing dan Equilibrium (keseimbangan).
Maka dengan berjalan kaki aku menerapkan metode All or Nothing, dan di dalam BMW ini
aku menerapkan metode Equilibrium. Sedikit aku terangkan, jika seseorang berangkat
dari rumah ke kantornya mempunyai 2 pilihan rute, lewat jalan Sudirman yang berjarak 1km,
atau lewat jalan Gatot Subroto yang berjarak 2km, maka jika kita menerapkan metode
pembebanan All Or Nothing, sudah dipastikan bahkan tanpa berpikir 1 detik pun,
dia memilih jalan Sudirman. Itu adalah harga mati, tidak bia ditawar lagi. Jika digambarkan
dengan angka matrix, jalan Sudirman adalah 1, dan Gatsu adalah 0. Tetapi ketika di jalan
Sudirman ada galian kabel yang memakan bahu jalan sehingga menimbulkan macet,
atau karena dia itu hendak sarapan bubur ayam yang terkenal enaknya dan sungguh laris
sehingga tukang bubur-nya bisa naik haji, dan bubur ayam itu ada di jalan Gatsu, maka dia
akan melalui rute jalan Gatsu. Kalahlah jalan Sudirman, 0-1 untuk Gatsu. Itulah Equilibrium.
Jika masih bingung apalah itu, bolehlah membaca sendiri buku karangan Ofyar Z. Tamim.
Kalau ada pepatah, guru -yg tentunya termasuk dosen- adalah orangtua di sekolah, maka
dia adalah kakekku. Karena dia adalah dosen dari dosenku.
Dari dalam BMW yang tak berjendela ini, dengan puas dapat kuhirup racun yang dikeluarkan
dari knalpot-knalpot.
Tak usahlah kau buat-buat asap knalpotmu jadi harum mewangi, tetap saja yang memenuhi
paru-paruku adalah racun. Racun itu tidak kuhirup sendiri, namun kubagi bersama sopir
BMW-ku yang berkerudung handuk biru, orang-orang yang naik motor, bahkan orang
yang motornya mengeluarkan bau wangi itu sendiri. Tentu saja kecuali mereka yang
berada di mobil Fortuner ber-plat B 612 WW di depanku ini. Mereka itulah penyokong
paling besar racun yang kuhirup. Tuhan tau mereka tak punya pilihan lain saat ini.
Tak apalah, aku memaklumi dan memahaminya.
Sepertinya sudah saatnya aku menyampaikan kepada Bapak Gubernur yang terhormat, yaitu
kesatu, agar hendaknya mempertimbangkan untuk dapat memperkerjakan dokter mata
yang sebanyak-banyaknya di ibu kota tercinta ini.
Diharapkan mereka dapat memeriksa kesehatan mata semua orang yang mengendarai
kendaraan bermotor. Dan yang paling terutama adalah kendaraan bermotor roda dua, sehingga
dapat melihat dengan jelas warna lampu lalulintas yang bertebaran di setiap perempatan
jalan. Suatu saat ketika lampu merah menyala, tidak ada lagi mobil yang menceburkan diri
ke tengah-tengah perempatan dikerubuti oleh motor, bagai burung bangkai mengerubuti
mangsanya. Membuat kemacetan panjang di belakangnya, sampai lampu merah sebelumnya,
dan sebelumnya, dan sebelumnya lagi.
Yang kedua, ada baiknya diadakan suatu perlombaan, dimana yang menang adalah yang
berhasil menyerok sebanyak-banyaknya sampah dari kali-kali dalam hitungan truk. Hadiah
yang disediakan pun harus menarik minat, misalkan free tiket penerbangan kemanapun
sepanjang tahun, tentunya dengan uang saku untuk akomodasi-nya.Sehingga ketika dia
berkesempatan jalan-jalan di negeri orang yang minum dari air keran, maka ketika pulang,
dia akan bersemangat untuk membuat air keran di negeri sendiri bukan hanya bisa diminum
oleh manusia, tapi juga oleh motor dan mobil. Ohya, tiketnya jangan untuk 1 orang saja,
tapi bersama pasangan atau keluarga. Atau terserahlah mau hadiah yang bagaimana,
tergantung permintaan si pemenang juga boleh.
Sedang yang ketiga, perlu dibuatkan kebijakan untuk menaikkan bea masuk setinggi-
tingginya atas kiriman dari luar kota Jakarta. Termasuk dan terutama adalah kiriman
dari Bogor yang berupa banjir. Perhitungan kenaikan ini bisa dipertimbangkan banyak faktor,
misal kalo hari kerja kenaikannya menjadi 40X per liternya, tapi kalo weekend cukup 20X.
Untuk hal lainnya, sementara masih aku pikirkan.
Di dalam BMW, 22 Nov 2012. 19.40
B A H A G I A
Meskipun
rasa pengap dan panas terbayangkan akan menyelubungiku, namun aku harus
menetapkan langkahku menuju ke sana, ke ruangan itu.
Di depan pintunya yang kokoh angkuh bercat kuning sewarna gading, aku hembuskan nafas panjang.
Dengan mantap, kucengkeram gagang pintu yang tertutup itu, perlahan aku buka dengan lembut, meminimalisir suara berderit yang akan ditimbulkannya.
Di depan pintunya yang kokoh angkuh bercat kuning sewarna gading, aku hembuskan nafas panjang.
Dengan mantap, kucengkeram gagang pintu yang tertutup itu, perlahan aku buka dengan lembut, meminimalisir suara berderit yang akan ditimbulkannya.
Selang berapa saat, masuklah aku ke dalamnya, temaram lampu neon 10watt enggan menerangi ruangan sempit itu.
Ruangan itu sungguhlah sempit, lebarnya hanya sekitar 10 jengkal tangan orang dewasa, sedang panjangnya lebih kurang 15.
Dindingnya yang dilapisi keramik 20X20cm sebatas bahu orang dewasa, bercorak abstrak dengan warna senada cat pintu membiaskan cahaya neon menjadikannya lebih terang.
Tidak ada ventilasi yang melancarkan udara untuk bersirkulasi, hanya lubang angin kecil seukuran piring makan emak, dengan kipas yang lelah untuk berputar, diam tak bernafas.
Kuteliti sudut-sudutnya, tak lama aku pun sadar, semua yang aku butuhkan tersedia di sini.
Tissu yang masih tebal, tong sampah yang belum penuh, senyum merekah dari bibirku.
Segera saja aku duduk di satu-satunya kursi yang ada di ruangan itu. Kursi berwarna putih yang patah, istilah kerennya broken white (hahaha)..
Kursi dengan keran air di samping kanannya, dengan lubang di bagian dudukannya. Wajahku menemburatkan kebahagian yang tertahan, ya, aku mau buang hajat.
Tersenyum aku hanya dengan mengingatnya, rasa itu, sungguh melegakan, bersyukur untuk tidak mengalami constipasi, tidak hari itu. Bahagia sekali rasanya.
Pojokan kantor, 13 Nov 2012, 18.15
Ruangan itu sungguhlah sempit, lebarnya hanya sekitar 10 jengkal tangan orang dewasa, sedang panjangnya lebih kurang 15.
Dindingnya yang dilapisi keramik 20X20cm sebatas bahu orang dewasa, bercorak abstrak dengan warna senada cat pintu membiaskan cahaya neon menjadikannya lebih terang.
Tidak ada ventilasi yang melancarkan udara untuk bersirkulasi, hanya lubang angin kecil seukuran piring makan emak, dengan kipas yang lelah untuk berputar, diam tak bernafas.
Kuteliti sudut-sudutnya, tak lama aku pun sadar, semua yang aku butuhkan tersedia di sini.
Tissu yang masih tebal, tong sampah yang belum penuh, senyum merekah dari bibirku.
Segera saja aku duduk di satu-satunya kursi yang ada di ruangan itu. Kursi berwarna putih yang patah, istilah kerennya broken white (hahaha)..
Kursi dengan keran air di samping kanannya, dengan lubang di bagian dudukannya. Wajahku menemburatkan kebahagian yang tertahan, ya, aku mau buang hajat.
Tersenyum aku hanya dengan mengingatnya, rasa itu, sungguh melegakan, bersyukur untuk tidak mengalami constipasi, tidak hari itu. Bahagia sekali rasanya.
Pojokan kantor, 13 Nov 2012, 18.15
Subscribe to:
Posts (Atom)